Siang hari yang panas menjelang zuhur, saya masih bermadikan keringat  sehabis mengikuti "aksi" menolak kedatangan BUSH yang berakhir di  Bundaran masjid Agung. Karena begitu dahaga, saya dan beberapa orang  teman, kemudian mencari penjual minuman dan makanan kecil yang banyak di  sekitar masjid megah itu.
Setelah puas menghilangkan  dahaga, saya dan beberapa orang teman kemudian sedikit kebingungan untuk  membuang limbah plastik, sisa minuman dan makanan. Akhirnya kami pun  mendapatkan akal untuk membuangnya di sela-sela pagar yang mengitari  masjid itu. Ketika hendak beranjak meninggalkan temapt kami nongkrong  tadi, tiba-tiba datang seorang laki-laki bertubuh legam dan berpakaian  lusuh mengambil plastik, yang masih berisi es dan cuka empek-empek yang  telah kami buang. Dan mau tahu apa yang dilakukan laki-laki itu. Saya  melihatnya, laki-laki itu meminum es yang masih tersisa di plastik yang  telah saya buang. Setelah puas, kemudian ia kembali mengambil plastik  yang masih berisi cuka empek-empek. Dan menghirupnya sampai habis.  Kemudian membuang plastiknya dan meninggalkan saya dan teman-teman yang  masih tertegun menyaksikan kejadian yang hanya berlalu beberapa detik  itu.
Sesampai di rumah menjelang magrib, saya kembali  teringat kejadian siang tadi. Hati saya miris menangis dan merasa begitu  bodoh dan tersindir. Selama ini saya jarang bersimpati kepada pengamen  di bus-bus yang bobrok atau pengemis-pengemis yang banyak berjajar di  jematan-jembatan penyeberangan. Toh saya pikir mereka hanya  manusia-manusia pemalas yang hanya menggantungkan hidupnya dari belas  kasihan orang lain. Namun, saya tidak pernah berpikir serius, ternyata  kehidupan begitu keras, hingga membuat banyak orang yang kelaparan dan  makan dengan mengais-ngais sisa makanan orang lain yang telah dianggap  sampah.
Tiba-tiba ingatan saya, tertuju pada kejadian  belasan tahun yang lalu. Waktu itu saya masih bocah ingusan yang baru  duduk di sekolah dasar. Salah satu teman bermain saya, sebut saja  namanya Ita pernah bertanya kepada saya.
“Eh, kamu kalo makan, senengnya pake lauk apa,” tanyanya.
Sayapun  kemudian menjawabnya dengan bercerita dengan panjang lebar. Dengan  bangga saya mengatakan kepadanya, bahwa tiap hari saya makan dengan lauk  pauk yang serba mewah, tentu dengan dibumbui kebohongan di sana-sini,  dengan tujuan agar dia merasa iri. Namun di luar dugaan saya, dia hanya  tersenyum tipis dan kemudian berkata kepada saya.
“Oh, kalo aku di rumah, paling seneng makan nasi sama garam dan minyak jelantah,” ujarnya bangga.
Mendengar  semangatnya ia bercerita tentang makanan favoritnya itu, membuat saya  mersa iri. Hingga pada suatu kesempatan ketika saya bertandang  kerumahnya yang sempit dan berlantai tanah, sayapun memintanya untuk  menunjukkan makanan favoritnya itu. Sesampainya dirumahnya, teman saya  itupun menunjukkan makana favoritnya itu, dan akhirnya terjawablah sudah  pertanyaan saya bagaimana bentuk si minyak jelantah itu. Minyak sisa  menggoreng yang warnanya sudah menghitam, mungkin karena seringnya  digunakan untuk menggoreng. Kemudian ia mencampurnya dengan garam dan  menuangkannya di atas nasi putih, untuk kemudian memakannya dengan  lahap. Begitu irinya saya melihat dia melahap makanan favoritnya itu,  hingga saya pun buru-buru pulang ke rumah, tentu karena penasaran dengan  rasa makanan favoritnya itu.
Sesampai dirumah, mulailah  saya mencari “sang minyak jelantah” di atas penggorengan yang warnanya  tidak sehitam ketika saya lihat di rumah Ita teman saya. Kemudian  mencampurnya dengan garam, dan menyiramkannya di atas sepiring nasi  putih yang telah saya siapkan. Satu suapan masuk kemulut saya. Alhasil  sayapun muntah.
Saat itu yang ada dipikiran kecil saya,  adalah perasaan iri kepada teman saya Ita. Mengapa dia begitu menikmati  makanan favoritnya itu, sedangkan saya malah memuntahkannya. Apakah ada  yang salah denagn lidah saya? Menjelang dewasa, sayapun mengerti dengan  sendirinya. Ya, sang Ita mungkin telah terbiasa dengan nasi, garam, dan  minyak jelantahnya. Hingga yang ada di lidahnya, bukan lagi enak, tahu  tidak enaknya ketika makanan itu masuk kemulutnya, tetapi lebih kepada  kebutuhan perut yang tidak bias menimbang untuk memilih makan yang masuk  kedalamnya. Seperti juga dengan lelaki lusuh yang saya temui di dekat  masjid Agung itu. Mengapa lelaki itu tidak mersa jijik ketika memakan  sampah sisa makanan orang lain.
Saya memang bukan seorang  anak konglomerat yang memiliki perusahaan yang tersebar di seluruh  Indonesia. Tetapi bukan juga sang Ita yang makan dengan nasi, garam dan  minyak jelantah. Cukuplah untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan asupan  gizi yang lumayan. Ketika saya begitu nelangsa, karena uang kiriman dari  orang tua, tidak sebanyak yang diterima oleh teman saya yang memiliki  laptop dan kamera digital. Saya mencoba untuk mencambuk hati saya dengan  mengenang ita teman kecil saya. Ketika saya merasa begitu miskin karena  tidak semua keinginan saya bisa semuanya terwujud. Saya mencoba untuk  lebih banyak melihat ke bawah. Pengamen-pengamen cilik dengan pakaian  kumal dan kericikan lusuhnya. Mbah-mbah di pasar tradisional yang  menjual sayuran yang sudah layu. Wanita-wanita muda yang usianya mungkin  jauh di bawah saya di tempat-tempat pengisian bahan bakar. Gadis kecil  yang sering meneriakkan nasi uduk di tempat kos saya yang lama. Bapak  penjual empek-empek yang berjalan lebih dari 20 Km. Melihat itu semua,  membuat saya merasa begitu kecil. Ternyata selama ini saya baru sadar.  Uang ongkos angkot saya pergi dan pulang dari kampus. Makanan-makanan  yang saya beli di warung-warung nasi. Cemilan yang menemani malam-malan  saya. Pulsa di hp butut saya. Buku-buku yang dengan bangganya saya  pamerkan kepada teman-teman saya. Fotokopian tugas kuliah saya. Ternyata  semua itu berasal dari kiriman orang tua saya setiap bulan. Dan bentuk  belas kasihan dari sang Maha Pemberi kepada diri saya yang hina dan  kikir untuk berinfak walau hanya seribu, dua rupiah. Dan semua itu  membuat saya malu, sungguh. Wallahu’alam. 
NASI, GARAM DAN MINYAK JELANTAH
10.13 | 
		        
Langganan:
Posting Komentar (Atom)








0 komentar:
Posting Komentar