“Masih 20 tahun, masih muda ya, masihpanjang. Masih banyak yang harus  dikejar”.Celoteh seorang bapak paruh baya tahun lalu saat menanyakan  usiaku. Saat menulis ini beberapa hari lagi usiaku genap 21 tahun.  Bukan. Bukan bertambah. Itu berarti jatah hidupku telah berkurang lagi  setahun dibandingkan tahun lalu.
Tiba-tiba pikiranku  melayang entah kemana. Merenungi usiaku saat ini. Apa beruntungnya usia  mudaku saat ini? Masih panjangkah jatah hidup yang diberikan Allah  padaku? Andai jatah hidupku di dunia ini 63 tahun, seperti jatah usia  Rasulullah, dengan usiaku saat ini 21 tahun, berarti usia hidupku  tinggal 42 tahun lagi.
Andai jatah hidupku di dunia ini  53 tahun, dengan usiaku saat ini 21 tahun, berarti usia hidupku tinggal  32 tahun lagi. Andai jatah hidupku di dunia ini 43 tahun, dengan usiaku  saat ini 21 tahun, berarti usia hidupku tinggal 22 tahun lagi. Andai  jatah hidupku di dunia ini 33 tahun, dengan usiaku saat ini 21 tahun,  berarti usia hidupku tinggal 12 tahun lagi.
Andai jatah  hidupku di dunia ini 23 tahun, dengan usiaku saat ini 21 tahun, berarti  usia hidupku tinggal 2 tahun lagi. Bagaimana jika jatah umurku sudah  habis dan besok atau lusa Malaikat Ijrail mencabut nyawaku? Duh! Adakah  aku masih bisa tenang dengan usia 21 tahun? Atau aku masih bisa santai  dan berleha-leha?
Sedangkan Malaikat Ijrail selalu  mengintaiku. Jika demikian, betapa tidak akan terasa menjalani sisa  hidup yang lebih pendek lagi; 42 tahun, 32 tahun, 22 tahun, 12 tahun, 2  tahun atau malah cuma dua hari lagi... Andai selama 21 tahun itu aku  tidur selama delapan jam perhari, berarti sepertiga hidupku hanya  dipakai untuk tidur, yakni sekitar 7 tahun.
Andai sisa  waktuku perhari yang tinggal 16 jam itu kupakai 4 jam untuk bermain-main  dengan teman, ngobrol ngalur ngidul, santai dan melakukan hal-hal yang  tak berguna, berarti sisa waktuku perhari tinggal 12 jam. Sebab yang 12  jamnya dipakai untuk tidur dan melakukan hal-hal tadi. 12 jam berarti  setengah hari. Jika dikalikan 21 tahun, berarti 10,5 tahun (separuh  umurku) hanya kupakai untuk tidur dan melakukan hal-hal yang tak  berguna.
Dalam usia 21 tahun ini, aku, sudah mulai  bekerja efektif pada usia 19 tahun. Berarti aku bekerja sudah 3 tahun.  Jika rata-rata aku bekerja 8 jam perhari, berarti aku telah menghabiskan  waktuku untuk bekerja 1/3 x 3 tahun = 1 tahun. Artinya, dari 21 tahun  itu aku menghabiskan total kira-kira 11,5 tahun hanya untuk tidur dan  bekerja mencari dunia: termasuk nongkrong dengan teman, ngobrol  ngalor-ngidul, santai, dan mungkin melakukan hal-hal tak berguna.
Lalu  aku bandingkan dengan aktivitas ibadahku, juga dakwahku. Andai shalatku  yang lima waktu, ditambah shalat-shalat sunnah, memakan waktu total  hanya 1,5 jam perhari, berarti aku hanya menghabiskan 547 jam pertahun  untuk shalat. Itu berarti hanya 23 hari pertahun. Andai aku benar-benar  menunaikan shalat umur 15 tahun (saat tiba baligh), berarti aku baru  menghabiskan sekitar 138 hari (= 23x6(21-15)) untuk shalat.
Artinya,  selama 21 tahun, aku menunaikan shalat hanya 4 bulan 18 hari! Bagaimana  dengan aktivitas dakwahku? Ah, malu rasanya aku. Teringat Mush’ab bin  Umair yang di usia 20 tahun menjadi duta untuk membuka dakwah di  Madinah. Teringat pula Muhammad Al-Fatih Murad yang menjadi panglima  besar dalam Penaklukan Konstatinopel di usia 21 tahun. Atau legenda  dakwah modern, Hasan Al-Banna, yang diusianya ke-22 tahun mendirikan  pergerakan dakwah bernama Ikhwanul Muslimin. Sedangkan aku?
Masa  mudaku habis ditelan kesia-siaan. Jika kesadaran agamaku saja baru  muncul diusia 18 tahun dan dakwahku baru kumulai pada usia 20 tahun  serta hanya memakan waktu rata-rata 1 jam sehari, berarti aku  menghabiskan waktu kira-kira 6 hari untuk berdakwah. Artinya, tak sampai  satu minggu aku meluangkan waktuku untuk berdakwah. Tak ada seujung  kukunya pun dibandingkan dengan beliau-beliau yang kusebutkan tadi.
Aku  teringat dengan firman Allah (yang artinya) :“Dan Aku tidak menciptakan  jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”(QS  adz-Dzariyat : 56)
Saat merenungi kembali ayat itu,  hatiku menangis. Betapa tidak. Allah menciptakan hidupku dan memberiku  usia 21 tahun sesungguhnya agar aku gunakan untuk beribadah kepada-Nya.  Namun kenyataannya, hidupku dan masa mudaku habis untuk tidur dan  bekerja mencari dunia, juga melakukan hal yang sia-sia.
Sebaliknya,  hanya sebagian kecil usiaku aku habiskan untuk ibadah dan dakwah.  Bekerja juga kan termasuk ibadah Gie..? Baik. Sekarang bagaimana jika  semua itu ternyata tidak bernilai di sisi Allah? Bagaimana jika  amal-amal ku ternyata tidak diterima oleh Allah? Bagaimana jika shalatku  yang jarang sekali khusyu itu ditolak oleh Allah?
Bagaimana  pula jika dakwah ku pun –yang mungkin kadang bercampur dengan riya dan  tak jarang minimalis- tak dipandang oleh Allah? Betul. Aku tidak boleh  pesimis. Aku harus penuh harap kepada Allah, semoga semua amal-amal ku  Dia terima. Namun, aku pun sepantasnya khawatir jika semua amal yang  selama ini aku anggap amal shalih dan bernilai pahala, ternyata sebagian  besarnya tak bernilai apa-apa di sisi Allah. Na’udzu billah.
Aku  memang tidak berharap seperti itu. Di sisi lain, setiap hari, puluhan  kali aku bermaksiat. Kalikan saja, misalkan, dengan 6 tahun usiaku (21  tahun dikurangi masa kanak-kanak prabalig). Ya Allah, setiap detik  karunia dan nikmat-Mu turun kepadaku. Namun setiap detik pula dosa dan  kesalahanku naik kepada-Mu.
21 tahun
10.30 | 
		        
Langganan:
Posting Komentar (Atom)








0 komentar:
Posting Komentar